2/12/2012

Nilai Budaya 15 Suku Bangsa di Indonesia


I.        DESKRIPSI NILAI-NILAI BUDAYA 15 SUKU BANGSA

1.    MENTAWAI (Sumatra Barat)
Nilai-nilai Budaya
Pengetahuan : Orang mentawai juga memiliki keahlian tersendiri dalam segi ilmu pengetahuan, yaitu ilmu meramal masa depan.
Sosial : Struktur sosial masyarakat Mentawai bersifat patrilinial. Struktur sosial tradisional adalah kebersamaan, mereka tinggal di rumah besar yang disebut Uma. Struktur sosial itu juga bersifat egalitarian, yaitu setiap anggota dewasa Uma mempunyai hak yang sama, kecuali dukun (sikerei) yang mempunyai hak lebih tinggi karena dapat menyembuhkan penyakit dan memimpin upacara kagamaan.
Seni : Dalam hal berseni, orang mentawai sangat memberi kekhasan yang unik. Kesenian tersebut adalah mentato, yang mengandung simbol jati diri status sosial atau profesi, simbol keseimbangan alam dan sebagai keindahan. Adapula kesenian meruncingkan gigi baik pria maupun wanita serta membuat ukiran-ukiran bermotif hewan di dinding rumah.
Religi : Mayoritas suku mentawai beragama katolik. Suku Mentawai mempunyai aturan adat yang selalu mereka jalankan yakni Arat Sabulungan. Arat berarti adat, sementara Sabulungan bermakna daun. Arat Sabulungan berarti mengatur kehidupan suku Mentawai untuk menghormati dan menjaga daun. Berdasarkan ajaran leluhur Mentawai, daun diyakini sebagai tempat bersemayamnya dewa hutan, dewa gunung, dewa laut, serta dewa air. Suku Mentawai juga meyakini daun menjadi penghubung antara Sang Pencipta dengan manusia. Begitu kuatnya kepercayaan suku Mentawai terhadap kekuatan daun. Salah satu upacara kepercayaan yang dikenal dengan nama Pangureikan, yaitu upacara permohonan berkah untuk menjauhkan penyakit dan bencana alam. Pada malam yang hening itulah masyarakat Mentawai memohon kepada Saukkuita (sang roh baik) yang dipercaya dapat mengatur bumi, melindungi seluruh anggota keluarga, dan menjauhkannya dari segala penyakit.


Pustaka :
Melalatoa, M. Junus.
1995. Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

2.    JAMBI (Jambi)
Nilai-nilai Budaya
Pengetahuan : Mereka juga mengembangkan alat dan teknologi sendiri untuk menangkap ikan dan berburu, misalnya tuba akar, taiman, ambat, tangkul, kacar, sukam, lukah, rawe, cemetik, takalak, dan sebagainya.
Sosial : Orang Jambi sering mengadakan upacara gotong royong pada saat panen, yang disebut katalang-petang. Sore diperuntukkan orang dewasa, dan malam harinya diperuntukkan muda-mudi dengan berdendang, bersenandung, menampilkan tari rangguk, tari selampit, berdzikir, dan lain-lain. Kelompok kekerabatan yang sering ditemui adalah keluarga inti monogami. Sistem yang dianut dari garis keturunannya adalah bilateral yaitu dari garis laki-laki atau garis perempuan.
Seni : Orang Jambi mengembangkan berbagai jenis tarian dan seni ukir yang bermotifkan bunga jeruk, daun sulur, trisula layar, relung kangkung, bunga matahari, dan motif keris. Dan ada juga dalam bentuk kerajinan rakyat, misalnya tenunan songket, kain batik, sulaman, dll.


Pustaka :
Melalatoa, M. Junus.
1995. Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan










3.    IBAN (Kalimantan Barat)
Nilai-nilai Budaya
Sosial : Dalam satu keluarga tinggal dalam satu rumah yang disebut bilek. Dalam satu bilek adalah satu kesatuan produksi dalam berladang, melakukan upacara lingkaran hidup dan lain-lain. Satu bilek selalu ada sejumlah hak dan kewajiban dan berlaku untuk semua warga bilek.
Seni : Orang Iban kreatif, inovatif, prestasi terlihat dari hasil kerajinannya. Misalnya unsur busana yang terdiri dari tutup kepala, kalung pria dan wanita (manikasa), gelang tangan wanita (balukun), ikat pinggang wanita (sumpai rangkai), baju untuk wanita (baju burik), kain untuk wanita (kain kabo manik), semua itu termotif dengan manik-manik yang penuh warna.
Ekonomi : Orang Iban ikhtiar dengan cara mengadakan upacara sehabis panen dengan rasa gembira dalam kemakmuran. Upacara ini bertujuan untuk mengucap syukur dari hasil panen yang sangat memuaskan dan memberi keberkahan dalam kehidupan suku Iban.
Religi : Dalam segi kepercayaan, secara keasliannya orang Iban meyakini adanya makhluk gaib penghuni alam semesta. Hal ini tampak dari berbagai upacara yang diadakan. Keyakinan itu juga terlihat dari penyerahan saji-sajian ke tempat-tempat keramat dan pemeliharaan terhadap benda-benda sakti, misalnya kayu besar, batu, dan sebagainya. Walaupun sekarang orang Iban mayoritas menganut agama kristen tetapi kepercayaan asli tetap berkembang di masyarakat.


Pustaka :
Melalatoa, M. Junus.
1995. Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan






4.    GORONTALO (Sulawesi Utara)
Nilai-nilai budaya
Sosial : Masyarakat Gorontalo sangat mementingkan nilai-nilai harmonis, tolong-menolong, kerukunan, baik dalam keluarga maupun masyarakat. Nilai-nilai tersebut terbukti dalam ungkapan “Delo tutumulo lambi” yang mempunyai arti “kehidupan pisang yang selalu member manfaat kepada manusia. Yang maksudnya kehidupan rumpun pisang seharusnya member arti kebersamaan yang harus ditiru oleh manusia. Ungkapan itu juga bisa bermakna saling tolong menolong antar manusia (Melalatoa 1995:292).
Seni : Lebih terkenal kekreatifan dalam kerajinan tenun dan karawang. Kerajinan yang lain juga banyak seperti kursi rotan, kursi batang kelapa, kopiah rotan, anyaman tikar, dan sebagainya.
Religi : Orang Gorontalo mayoritas pemeluk agama islam. Nilai keyakinan dan kebenaran tampak pada kepercayaan mereka terhadap adanya setan, ini terbukti adanya upacara mopoahuta atau mapoalati, yang artinya memberi makan kepada setan penjaga tanah. Upacara tersebut mempunyai makna atau tujuan untuk memperoleh berkah dalam berladang atau bertani.


Pustaka :
Melalatoa, M. Junus.
1995. Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, hal. 290-292








5.    TERNATE (Maluku)
Nilai-nilai Budaya
Pengetahuan : Mengubahi bentuk-bentuk temuan bebatuan agar dapat berfungsi dan bermanfaat bagi kehidupan sehari-hari seperti alat pemotong, nisan, dan masih banyak yang lainnya.
Sosial : Sebelum masuknya islam masyarakat Ternate memakai struktur kepemimpinan Kolano. Setelah islam masuk ke Ternate, masyarakat disana memekai struktur kepemimpinan Kolano menjadi kesultanan. Dalam struktur kolano ikatan genealogis dan territorial berperan sebagai faktor pemersatu. Sedangkan dalam kesultanan islamlah yang menjadi faktor pemersatu.


Pustaka :
Melalatoa, M. Junus.
1995. Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan












6.    TIDORE (Maluku)
Nilai-nilai Budaya
Sosial : Orang Tidore dalam pengelolahan tanah dilakukan dengan cara bergotong-royong yang terorganisasi yakni disebut gololi. Gololi dilatar belakangi oleh nilai-nilai yang berakar dalam masyarakat yaitu suka menolong orang lain (liyan), tolong menolong (madigali) yang bersimbolkan botol. Dimana dibalik simbol itu tersirat makna identitas, solidaritas, tanggung jawab, ekonomis, spiritual, dan disiplin.
Religi : Di Tidore ada rutinitas pengajian malam jumat dalam wadah kelompok yang disebut kampula. Pada kamis sore masyarakat disana sudah siap-siap pengajian, ada pula pergi ziarah ke makam keluarga. Kegiatan mencari nafkah dihentikan saat itu. Ada pula tradisi di Tidore yakni tagi kie, tagi jere, tagi goya, shalawi, dan salai jin.


Pustaka :
Melalatoa, M. Junus.
1995. Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan











7.    HALMAHERA (Maluku)
Nilai-nilai Budaya
Sosial : Kehadiran bangunan megalit sering ada hubungannya dengan roh nenek moyang yang mempunyai pengaruh kuat terhadap kesejahteraan masyarakat  dan kesuburan tanaman. Kegiatan gotong royong yang diciptakan oleh nenek moyang itu terwarisi sampai sekarang. Pada lingkungan keluarga biasanya ada hubungan kerja sama sebagai tanggung jawab. Misalnya kerjasama dalam mempersiapkan upacara perkawinan anggota keluarga mereka, upacara pemakaman, dan acara-acara keluarga lainnya. Ada pula dalam lingkungan masyarakat dibentuk kelompok kerja yang disebut rion-rion. Kelompok ini biasanya setiap anggota mempunyai tujuan yang sama, misalnya berkebun, mengolah hasil pertanian, dan membangun rumah para anggota kelompok tersebut. Masyarakat Halmahera tepatnya di bagian utara memiliki budaya yang sudah ada ratusan tahun dan sampai saat ini masih terjaga kelestariannya sebagai nilai-nilai budaya yang filosofis.
Religi : Mayoritas orang Halmahera beragama islam. Seluruh bidang kehidupan, apakah itu di bidang pertaniaan, perburuan, nelayan, kelahiran anak, hubungan dengan sesama manusia, dan sikap manusia terhadap alam sekitar kehidupan, selalu dihayatinya dalam kaitannya dengan kesadaran religiositas mereka. Sayang sekali kesadaran ini kurang diapresiasi. Malahan setelah agama Kristen masuk di Halmahera justru kesadaran religiositas itu makin merosot. Malahan dicap sebagai wujud kekafiran. Padahal kesadaran religiositas yang hidup di kalangan masyarakyat Halmahera itu memiliki daya bentuk yang kuat, yang mampu membentuk kepekaan seseorang terhadap kehendaki Yang Ilahi bagi hidupnya, maupun membentuk sikap dan perilaku seseorang dalam mensikapi sesamanya dan alam sekitarnya.


Pustaka :
Melalatoa, M. Junus.
1995. Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan



8.    ASMAT (Irian Jaya)
Nilai-nilai Budaya
Seni : Salah satu kekhasan budaya Asmat dipandang dari segi seni dengan karya-karya patung dan ukir-ukirannya. Dan itu tidak lepas dari sistem kepercayaan terhadap roh-roh leluhur yang sudah meninggal. Ukiran tersebut bermotif hewan-hewan, tumbuh-tumbuhan, manusia, motif kurvilinier berupa huruf atau garis. Ukiran itu dituangkan atau diungkapkan ke benda-benda dan diwarnai dengan warna putih, hitam dan merah. Ukir-ukiran tersebut mempunyai symbol yang mengandung harapan dan nilai-nilai untuk hidup bekerja keras, berani menghadapi hidup yang keras serta harapan akan datangnya berkah dari leluhur.
Religi : Mereka percaya kekuatan gaib dan bila ada orang yang meninggal, mayatnya tidak dikuburkan. Dengan maksud roh orang yang bisa meninggal masih tetap berada di dalam kampung, terutama kalau porang itu diwujudkan dalam bentuk patung mbis. Orang Asmat percaya bahwa mereka berasal dari sang Pencipta (fumeriptits). Sekarang banyak yang memeluk agama katolik dikarenakan banyak didirikannya gereja dengan ajaran yang melalui pendekatan budaya.
Sosial : Suku asmat sangat bertanggung jawab dan setia jika ada yang meninggalnya salah satu orang asmat. Pernyataan tersebut tidak lepas dari kepercayaan mereka itu sendiri. Mayatnya tidak dikuburkan sehingga rohnya masih tetap mendiami di lingkungan suku tersebut dan terhadap roh-roh leluhur mereka.

Pustaka :
Melalatoa, M. Junus.
1995. Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan







9.    FLORES-MANGGARAI (NTT)
Nilai-nilai Budaya
Religi : Secara umum, sistem religi asli orang Manggarai adalah monoteis implisit, dengan dasar religinya yakni menyembah Tuhan Maha Pencipta dan Maha Kuasa (mori jadi dedek – Ema pu’un kuasa), meski masih terdapat cara-cara dan tempat persembahan misalnya, compang (mesbah), yang didirikan di tengah kampung karena menurut kepercayaan orang Manggarai di sana berdiamlah Sang Naga Beo (kekuatan pelindung) yang menjaga ketentraman warga kampung setiap waktu (mengutamakantugas.blogspot.com).
Sosial : Terlihat dari makna Compang itu, berbentuk bulat maksudnya atau mengandung makna kekerabatan, sehingga dalam upacara adat Manggarai sering diungkapkan kalimat sebagai berikut: Muku ca pu’u toe woleng curup (kesatuan kata), Ipung ca tiwu neka woleng wintuk (kesatuan tindakan), Teu ca ambong neka woleng lako (kesatuan langkah). Wujud nyata dari prinsip ini nampak dalam kegiatan leles, kokor tago, dan lain-lain. Semuanya menekankan persaudaraan, kebersamaan, dan kekeluargaan.
Pengetahuan : Sejak dulu, orang Manggarai memiliki pengetahuan tentang alam sekitarnya, baik fauna maupun flora dengan seluruh ekosistemnya. Sistem dan pola hidup masyarakat Manggarai yang agraris mengharuskan mereka memiliki pengetahuan yang cukup tentang flora, tentang tanaman atau tumbuh-tumbuhan yang bermanfaat bagi kehidupannya. Begitupun pengetahuan tentang fauna dimiliki secara turun temurun karena orang Manggarai pada dasarnya senang beternak dan berburu. Pembuatan minuman tradisional juga sudah dikenal masyarakat Manggarai, yakni proses pembuatan atau mencampur air enau dengan kulit damer sehingga menghasilkan alkohol berkadar tinggi seperti arak atau tuak, mengenal cara pembuatan obat-obatan yang berasal dari daun-daunan, misalnya londek jembu yaitu pucuk daun jambu untuk mengobati sakit perut, kayu sita, untuk pengombatan disentri. Untuk alat-alat pertanian, masyarakat Manggarai sudah mengenal perkakas dari bambu, kayu atau tanah liat untuk mengolah tanah pertanian.
Kesenian : Di Manggarai juga tumbuh dan berkembang berbagai jenis kesenian khas daerah ini seperti seni sastra, musik, tari, lukis, disain dan kriya. Dari berbagai jenis kesenian itu, ada dua jenis yang sudah mencapai tingkat sebuah peradaban dan sudah dikenal luas, yakni seni pertunjukan caci dan seni rupa (kriya), songke. Misalnya Caci, merupakan puncak kebudayaan Manggarai yang unik dan sarat makna: seni gerak (lomes), nilai etika (sopan santun), nilai estektika, muatan nilai persatuan, ekspresi suka cita, nilai sportifitas, serta penanaman percaya diri.
Pustaka :


10.    BIMA (NTB)
Nilai-nilai Budaya
Seni : Seni tradisional khas Bima adalah tarian khas buja kadanda yang saat ini hampir punah dan telah diperhatikan oleh pemerintah daerah serta tari perang khas suku bima dan perlombaan balap kuda merupakan wujud kesenian lainya dari suku bima yang sangat menggugah nilai kompetitif orang-orang Bima.
Ekonomi : Mata pencaharian utama masyarakat suku Bima adalah bertani dan sempat menjadi segitiga emas pertanian bersama Makassar dan Ternate pada zaman Kesultanan. Oleh karena itu, hubungan Bima dan Makassar sangatlah dekat, karena pada zaman Kesultanan, kedua kerajaan ini saling menikahkan putra dan putri kerajaannya masing (lilincahayahati.blogspot.com).
Religi : Suku ini mayoritasnya menganut agama Islam, dan dikenal sebagai Suku yang taat akan amalan Islam di kepulauan Indonesia Tenggara. Kepercayaan asli orang Bima disebut pare no bongi, yaitu kepercayaan terhadap roh nenek moyang. Walaupun sebagian besar masyarakat Bima memeluk agama Islam, suku Bima masih mempercayai dunia roh-roh yang menakutkan. Dunia roh yang ditakuti adalah Batara Gangga sebagai dewa yang memiliki kekuatan yang sangat besar sebagai penguasa, Batara Guru, Idadari sakti dan Jeneng, roh Bake dan roh Jim yang tinggal di pohon, gunung yang sangat besar dan berkuasa untuk mendatangkan penyakit, bencana, dll. Mereka juga percaya adanya sebatang pohon besar di Kalate yang dianggap sakti, Murmas tempat para dewa Gunung Rinjani; tempat tinggal para Batara dan dewi-dewi. Sedangkan suku Bima bagian timur menganut agama Kristen.
Sosial : orang suku bima sangatlah kompetitif terlihat dari seninya yaitu perlombaan balap kuda, sehingga terwujud nilai keharmonisan, dan kerukunan yang sangat terlihat indah.


Pustaka :





11.    BALI
Nilai-nilai Budaya
Sosial : Ada lapisan sosial yang berlaku di Bali yang sering disebut kasta, yaitu Brahmana, Ksatria, weysya, dan sudra. Kelompok kekerabatan terkecil adalah keluarga batih disebut kuren. Dimana mereka dalam satu kesatuan ekonomi atau makan dalam satu dapur. Masyarakat Bali juga mengenal klen yang disebut tunggal dadia.
Seni : Bali selalu menunjukkan ritual dan keindahan ke dalam bentuk seni. Seni murni berunsur sacral dan sub unsur kesenian itu adalah seni rupa (patung, lukisan), seni suara (gamelan tua, gamelan madia dan gamelan baru), seni tari (tari wali, tari bebali, dan tari balih-balihan), seni sastra (pewayangan), dan seni drama (gong).
Ekonomi : Sebagian besar orang Bali dengan melakukan kegiatan bertani dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari. Ada juga yang lain yaitu bercocok tanam, berkebun yang biasanya menghasilkan kelapa, kopi, cengkeh, kapok, jambu mete, dan tembakau. Ada juga mata pencaharian yang lain adalah industry rumah tangga, nelayan dan perdagangan. Masyarakat Bali sangat makmur dilihat dari perkembangan pesat pariwisata di Bali.
Religi : Orang Bali umumnya memeluk agama Hindu yang berpangkal pada kitab suci Wedha, yang merupakan wahyu dari Hyang Widhi atau Tuhan Yang Maha Esa. Ada tempat pemujaan terhadap Hyang Widhi termasuk penjelmaannya yang disebut pura. Banyak sekali macam upacara keagamaan yang dilaksanakan oleh orang Bali. Secara keseluruhan dapat dibagi lima macam upacara (panca yadnya) yaitu Manusia Yadnya, Putra Yadnya, Dewa Yadnya, Resi yadnya, dan Buta Yadnya. Orang Bali percaya pada macam-macam dewa dan ruh yang dihormati dalam berbagai upacara bersaji.


Pustaka :
Melalatoa, M. Junus.
1995. Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, hal. 96-107




12.    MADURA (Jawa Timur)
Nilai-nilai Budaya
Ekonomi : Budaya merantau ke wilayah luar Madura untuk mencari kehidupan yang lebih baik imigrasi dalam nasional maupun sampai ke luar negeri.
Sosial : Carok adalah cara untuk menyelesaikan masalah antara orang yang satu dengan orang yang lain dengan syarat masalah tersebut menyangkut harga diri seseorang yakni perempuan dan harta atau tahta, yang dilakukan dengan cara saling bunuh. Ini menunjukkan orang Madura sangat menjunjung tinggi nilai harga diri.
Kesenian : Kerapan sapi adalah salah satu kesenian orang Madura yang sekarang tujuannya tidak lagi sebagai upacara rasa syukur melainkan untuk lomba,  tetapi kerapan sapi tetap menjadi wadah dalam perkumpulan orang-orang Madura. Dari kemenangan lomba itu sendiri menimbulkan kepuasan dan untuk mengangkat derajat di mata masyarakat lingkungannya.
Religi : Orang Madura mayoritas beragama islam, dan sangat menjunjung tinggi nilai ketaatan dalam beragama. Buktinya ajaran orang tua terhadap anaknya, sejak dini sudah diajari beragama yang baik menurut orang Madura. Disana juga terdapat slametan yang diadakan setiap hari senin malam dan kamis malam dengan melakukan kegiatan pengajian dan juga menjadi wadah dimana orang Madura berkumpul dan mengikat tali silahturahmi.


Pustaka :
Melalatoa, M. Junus.
1995. Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, hal. 493-498






13.    TENGGER (Jawa Timur)
Nilai-nilai Budaya
Sosial : Rata-rata orang Tengger tidak mau menjual tanah kepada orang lain. Ini merupakan suatu gejala rasa tidak senang jika lingkungannya didiami oleh orang lain. Itu dikarenakan mereka sudah sangat sejahtera dalam kebersamaan.
Ekonomi : Masyarakat Tengger seolah-olah tak bisa lepas dari pertaniannya. Mereka termasuk orang-orang pekerja keras.
Religi : Mayoritas orang Tengger memeluk agama Hindu Mahayana, tetapi ada juga yang memeluk agama islam, protestan dan lain-lain. Berdasarkan ajaran agamanya, setiap tahun harus mengadakan upacara Kasodo. Upacara pengiriman kurban kepada leluhur yang ada di kawah gunung Bromo. Dengan tujuan diberi keberkahan,kesejahteraan hidup, dan supaya tidak terjadi bencana. Dan dikenal juga Upacara karo, dimana masyarakat disana mengadakan selamatan dan saling kunjung-mengunjungi dan saling memaafkan, seperti halnya hari raya idul fitri dalam ajaran agama islam.


Pustaka :
Melalatoa, M. Junus.
1995. Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan








14.    BANYUMAS (Jawa Tengah)
Nilai-nilai Budaya
Seni : Banyak kesenian tradisional yang dimiliki oleh masyarakat Banyumas, seperti dhalang jemblung, dagelan, begalan, macapat, angguk, ebeg (jaran kepang atau kuda lumping), aplang, ujungan, calung, boncis, braen, manongan, slawatan, gending banyumasan, seni batik, dan gagrak banyumas.
Religi : Mayoritas orang Banyumas beragama islam, mengenal nama-nama makhluk halus, pelaksanaan upacara sehubungan kehamilan. Mereka juga memperingati hari besar islam seperti bulan sura mengadakan pertunjukkan wayang dan menziarahi makam leluhur yang dianggap keramat. Dalam bulan maulud mereka mensucikan benda-benda pusaka dan lain-lain. Tujuannya hanya untuk memperoleh berkah (ngalap berkah).
Sosial : Terwujud nilai ketertiban dan kebersamaan dalam kehidupan masyarakat, masih ada anggapan bahwa alam memiliki kekuatan yang dapat memberikan pengaruh bagi kehidupan mereka baik pengaruh positif maupun pengaruh negatif. Oleh karena itu manusia melakukan pendekatan atau berkomunikasi dengan alam dengan melakukan sesaji, sesembahan, ritual-ritual, dan lain-lain dengan harapan alam bermurah hati memberi kesempatan kepada mereka untuk hidup lestari.


Pustaka :
Melalatoa, M. Junus.
1995. Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan






15.    BANTEN (Jawa Barat)
Nilai-nilai Budaya
Sosial : Orang Banten mementingkan rasa gotong royong dalam bentuk kerja bakti, misalnya dalam hal pengolahan tanah. Orang Banten menyebut gotong royong sendiri adalah liliuran, dan rasa kebersamaan dalam melakukan aktifitas apapun. Di sana juga ada lapisan social seperti Carik (sekertaris Desa), Ulu–ulu (urusan pengairan), Kabayan (pesuruh desa), Amil (urusan agama), dll.
Seni : Seni orang Banten adalah segeng, debus, rudat, calung renteng, rampak bedug, dll. Contohnya kesenian debus yang menggambarkan sifat kekebalan terhadap benda tajam atau ketahan terhadap benda panas. Dasar kekebalan mengacu pada agama islam, syaratnya cukup berat misalnya berpuasa, sholat lima waktu, hafal doa – doa dari al-quran, pantang terhadap perbuatan maksiat.
Religi : Orang banten mayoritas beragama islam dan termasuk masyarakat yang taat beragama. Dan masih ada rasa kepercayaan lama seperti adat berziarah ke makam-makam keramat dari pengikut dan tentara Sultan Ageng Tirtayasa dan lain sebagainya.


Pustaka :
Melalatoa, M. Junus.
1995. Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan








II.     MATRIK PERBANDINGAN NILAI-NILAI BUDAYA 15 SUKU BANGSA

Suku Bangsa
Pengetahuan
Sosial
Seni
Ekonomi
Religi
Mentawai
Inovatif dan prestasi : bisa meramal masa depan.
Nilai kebersamaan yang terbukti aktivitas dalam satu uma dengan tujuan mempererat persaudaraan.
Kreatif dan keindahan yang terwujud dalam seni tato dan lain-lain

Kepercayaan terhadap perlindungan hutan dan adanya roh-roh gaib.
Jambi
Kreatif dalam membuat alat-alat untuk kebutuhan nelayan dan berburu.
Gotong royong erlihat dari aktivitas saat panen.
Dilihat dari seni tari, seni ukir dan kerajinan rakyatnya.


Dayak-Iban

Kebersamaan yang terlihat dari berlakunya hak dan kewajiban dalam satu bilek.
Kreatif dan keindahan dalam merancang busana yang bermotif manik-manik yang penuh warna.
Ikhtiar dengan mengucap syukur adanya kemakmuran dalam bertani.
Keyakinan terhadap adanya makhluk gaib penghuni alam semesta dan benda-benda sakti.
Gorontalo

Mementingkan nilai-nilai harmonis, tolong-menolong, kerukunan dalam bermasyarakat.
Kretif terlihat pada kerajinan tenun, karawang dan masih banyak lagi.

Nilai kepercayaan terhadap adanya setan meski beragama islam.
Ternate
Mengubah bentuk batu menjadi alat untuk kebutuhan sehari-hari.
Membuat struktur kemasyarakatan sebagai alat pemersatu.



Tidore
Mengubah bentuk batu menjadi alat untuk kebutuhan sehari-hari.
Gotong-royong yang terorganisasi
disebut gololi.


Selamat : Rutinitas pengajian malam jumat
yang disebut kampula.

Halmahera

Kegiatan gotong royong yang diciptakan oleh nenek moyang itu terwarisi sampai sekarang.


Dengan nilai Ketuhanan semua kegiatan selalu dihayati dalam kaitannya dengan kesadaran religiositas.


Asmat

Tanggung jawab dan setia, terhadapn roh-roh leluhur yang telah meninggal.
Kreatif dan kebenaran yang tertumpang dalam karya-karya patung dan ukir-ukiran yang
tidak lepas dari sistem kepercayaan.



Percaya kekuatan gaib dari
roh orang yang sudah meninggal dan
fumeriptits.
Flores-Manggarai
Inovatif, kreatif dan prestasi yaitu pengetahuan  tentang flora dan fauna. Kemampuan meracik obat-obatan dan minuman tradisional
Kebersamaan, harmonis, dan kerukunan makna dari ungkapan-ungkapan di setiap upacara adat.
Kretif, kebenaran, disiplin yang dimaknakan dalam caci yakni salah satu seni suku manggarai.

Ketuhanan dan kebenaran yaitu menyembah Tuhan Maha Pencipta dan Maha Kuasa dan percaya kekuatan gaib dalam hal positif pada tempat-tempat sakral.


Bima

Gotong-Royong, Kerjasama, Rukun, Harmoni, memiliki jiwa sosial dalam perlombaan balap kuda.
Kompetitif dalam Perlombaan balap kuda dan kretif terdapat pada tari perang.

Menjadi segitiga emas pertanian bersama Makassar dan Ternate.
Taat akan amalan Islam
dan kepercayaan terhadap roh nenek moyang.
Bali

Satu kesatuan ekonomi atau makan dalam satu kuren demi menjaga nilai kebersamaan dan tali persaudaraan.
Seni murni
dan sub unsur kesenian yang menunjukkan unsur keindahan.
Ikhtiar dalam munuju kemakmuran perkembangan pesat di bidang pariwisata.
Percaya pada macam-macam dewa dan ruh yang dihormati dalam berbagai upacara bersaji.
Madura

Menjunjung tinggi nilai harga diri yang terwujud dalam budaya carok.
Kompetitif dalam hal perlombaan kerapan sapi demi mengakat derajat seseorang tersebut.
Ikhtiar dalam kebudayaan merantau yang bertujuan mencari kemakmuran untuk kebutuhan hidup.
Slametan yang diadakan setiap hari senin malam dan kamis malam.
Tengger

Kesejahteraan dan kebersamaan yang terwujud dalam bermasyarakat.

Ikhtiar dengan bekerja keras yang selalu diperlihatkan setiap harinya.
Selamatan yang terlihat upacara karo, dan kebenaran atau kepercayaan dalam persembahan di gunung Bromo.
Banyumas

Kebersamaan dalam kehidupan masyarakat, masih ada anggapan bahwa alam memiliki kekuatan.


Dhalang jemblung, dagelan, begalan, macapat, angguk, ebeg dll.

Memperingati hari besar islam seperti bulan sura.
Banten

Mementingkan rasa gotong royong dalam bentuk kerja bakti melakukan kegiatan-kegiatan di dalam bermasyarakat.
Kesenian debus yang menggambarkan sifat kekebalan.

Masih ada rasa kepercayaan lama seperti adat berziarah.

Dilihat pada data matrik di atas, 15 suku bangsa di Indonesia secara keseluruhan mempunyai atau menjunjung nilai kebudayaan dalam aspek sosial. Pandangan masyarakat sangat mementingkan nilai kebersamaan, harga diri, kesetiaan, tanggung jawab, kompetitif, tolong menolong, gotong royong atau kerja sama, ketertiban, keharmonisan, kedisiplinan, dan kerukunan.
Nilai ikhtiar dengan tujuan untuk mendapat kemakmuran dalam aspek ekonomi terlihat dari lima suku di atas, diantaranya Suku Iban yang bersyukur atas nikmat yang diperoleh, Suku Bima yang besar dari sudut pandang pertanian, Suku Bali yang terlihat berkembang pesat dalam bidang pariwisatanya, Suku Madura yang membudayakan merantau sebagai ajang pencarian ekonomi yang lebih baik, dan Suku Tengger yang memperlihatkan kerja kerasnya dalam mata pencahariannya.
Dalam aspek religi, adapun persamaan nilai budaya yang terlihat dari kepercayaan terhadap roh-roh gaib diantara suku-suku diatas, yaitu Suku Mentawai, Dayak-Iban, Gorontalo, Asmat, Flores-Manggarai, Bima, dan Bali. Suku-suku ini percaya terhadap roh-roh gaib mereka beranggapan ada kehidupan lain diantara  mereka yang bisa mengganggu atau juga bisa memberi berkah. Sehingga mereka mengadakan upacara adat dengan tujuan dapat bantuan dari roh-roh gaib tersebut demi keharmonisan dan kesejahteraan suku-suku tersebut. Sementara Suku Tidore, Halmahera, Madura, Tengger, Banyumas, dan Banten mengutamakan hal-hal yang  berdasarkan keagamaan seperti selamatan.
Terdapat lima suku yang memiliki nilai budaya dalam aspek pengetahuan dengan tujuan untuk kemajuan suatu suku atau berpikir cerdas dengan nilai kreatif, inovatif, dan prestasi. Diantaranya yaitu suku Ternate dan Tidore memiliki pengetahuan yang sama dengan mengubah bentuk batu menjadi alat untuk kebutuhan sehari-hari. Itu dikarenakan tempat yang berdekatan dan dalam sejarah yang sama. Sedangkan suku Mentawai mempunyai kelebihan bisa meramal masa depan, suku Jambi membuat alat-alat sendiri untuk kebutuhan nelayan dan berburu dan suku Flores-Manggarai memiliki pengetahuan tentang flora-fauna dan kemampuan meracik obat-obatan dan minuman tradisional.
Sangat beragam terlihat dari wujud nilai budaya kreatif, kompetitif, kebenaran dan lain sebagainya dalam aspek kesenian di berbagai suku-suku di atas dari 15 suku bangsa di Indonesia. Berbagai seni yang dimiliki setiap suku-suku tersebut dari perwujudan kekreatifan, kompetisi dalam perlombaan, inovatif dalam pembuatan suatu seni, hingga penempatan kandungan pesan-pesan atau makna-makna dalam suatu seni tersebut.
III. MATRIK PERBANDINGAN 5 NILAI-NILAI BUDAYA YANG SAMA


Suku Bangsa
Pengetahuan
Sosial
Seni
Ekonomi
Religi
Mentawai
Inovatif dan prestasi : bisa meramal masa depan.
Kebersamaan yang terbukti aktivitas dalam satu uma
Kreatif dan keindahan yang terwujud dalam seni tato dan lain-lain

Kepercayaan terhadap perlindungan hutan dan adanya roh-roh gaib.
Iban

Kebersamaan yang terlihat dari berlakunya hak dan kewajiban dalam satu bilek.
Busana yang bermotif manik-manik yang penuh warna.
Ikhtiar dengan mengucap syukur adanya kemakmuran dalam bertani.
Keyakinan terhadap adanya makhluk gaib penghuni alam semesta dan benda-benda sakti.
Flores-Manggarai
Inovatif, kreatif dan prestasi yaitu pengetahuan  tentang flora dan fauna. Kemampuan meracik obat-obatan dan minuman tradisional
Kebersamaan, harmonis, dan kerukunan makna dari ungkapan-ungkapan di setiap upacara adat.
Kretif, kebenaran, disiplin yang dimaknakan dalam caci yakni salah satu seni suku manggarai.

Ketuhanan dan kebenaran yaitu menyembah Tuhan Maha Pencipta dan Maha Kuasa dan percaya kekuatan gaib dalam hal positif pada tempat-tempat sakral.
Bali

Satu kesatuan ekonomi atau makan dalam satu kuren demi menjaga nilai kebersamaan dan tali persaudaraan.
Seni murni
dan sub unsur kesenian yang menunjukkan unsur keindahan.
Kemakmuran terlihat dari perkembangan pesat di bidang pariwisata.
Percaya pada macam-macam dewa dan ruh yang dihormati dalam berbagai upacara bersaji.
Banten

Mementingkan rasa gotong royong dalam bentuk kerja bakti melakukan kegiatan-kegiatan di dalam bermasyarakat.
Kesenian debus yang menggambarkan sifat kekebalan.

Masih ada rasa kepercayaan lama seperti adat berziarah.

Seperti pernyataan sebelumnya dari data matriks diatas, diantara nilai-nilai budaya lima suku bangsa terlihat persamaan dalam aspek sosial bertujuan untuk kesejahteraan suatu suku bangsa itu tersebut dan menjunjung tinggi tali persaudaraan atau kekerabatan. Dalam penyampaiannya bahwa setiap orang memiliki kesamaan atau dianggap sama melainkan tidak ada perbedaan dalam hal kehidupan bermasyarakat kesehariaannya.
Hanya dalam perwujudannya yang berbeda-beda dan sangat bervariasi dan beragam. Itu menunjukkan bahwa Indonesia adalah bangsa kaya akan suku-sukunya yang sangat beragam tetapi tetap satu kesatuan seperti dalam ungkapan “Bhineka Tunggal Ika”.















IV.   DAFTAR PUSTAKA


http://www.anneahira.com/kebudayaan-suku-asmat.html diakses pada tanggal 29 Desember 2011

Melalatoa, M. Junus. 1995. Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

0 comments:

Post a Comment

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More