Aneka ragam makna yang dihubungkan dengan istilah
“beragama” dapat saja berarti aspek-aspek gejala yang sama, walaupun tak
sepenuhnya sinonim. Banyak orang berpendapat bahwa seseorang yang menjadi
anggota gereja yang aktiftentulah seorang penganut agama yang taat, dan
pastilah juga menjalankan keyakinannya dalam kehidupannya sehari-hari. Ketidakjelasan
dalam hal apa sesungguhnya “keberagamaan” itu dapat menimbulkan kegagalan
serius dalam penelitian dan penulisan tentang komitmen terhadap agama.
Konsepsi-konsepsi tentang keberagamaan tidak sama
bagi semua orang, baik pada masyarakat kompleks modern maupun bagi sebagian
besar masyarakat primitif yang homogen. Kita bisa menyatakan dengan tepat
mengenai komitmen keagamaan itu, perlu kesepakatan bahwa cara kita
mendefinisikan keberagamaan itu harus sesuai dengan cara masyarakat
mendefinisikan konsep tersebut. Untuk mulai mendefinisikan dan
mengoperasionalisasikan komitmen keagamaan, kita perlu maju setapak lagi ke
dalam analisa linguistik untuk menentukan berbagai hal yang dapat diartikan
oleh istilah tersebut.
Bagi orang-orang yang memiliki ketaatan kepada agama
yang besar dan menganggapnya sebagai gejala metafisika semata-mata, di luar
jangkauan panca indera dan tidak berkaitan dengan apa yang difikirkan,
dikatakan, dan diperbuat, pekerjaan akan sia-sia dan tidak relevan –
semata-mata materialistik yang menampilkan sosok keduniawian. Unsur metafisika
dalam agama yang menetang pengkajian agama dengan ketelitian ilmiah. Tetapi
seperti kita ketahui bahwa agama berada dalam dunia materi dan tidak bisa
sepenuhnya, atau bahkan secara primer, dimengerti dalam pengertian metafisika.
Lima dimensi dapat dibedakan dalam hal ini; di dalam
setiap dimensi aneka ragam kaidah dan unsur-unsur lainnya dari berbagai agama
dunia dapat digolong-golongkan sebagai berikut:
1. Dimensi keyakinan. Dimensi ini berisikan
pengharapan-pengharapan di mana orang yang religius berpegang teguh pada
pandangan teologis tertentu, mengakui kebenaran doktrin-doktrin tersebut.
2. Dimensi praktek agama. Dimensi ini mencakup perilaku
pemujaan, ketaatan, dan hal-hal yang dilakukan orang untuk menunjukkan komitmen
terhadap agama yang dianutnya. Praktek-praktek keagamaan ini terdiri dari dua
kelas penting:
·
Ritual mengacu
kepada seperangkat ritus, tindakan keagamaan formal dan praktek-praktek suci
yang semua agama mengharapkan para penganutnya melaksanakan.
·
Ketaatan dan
ritual bagaikan ikan dengan air, meski ada perbedaan penting. Apabila aspek
ritual dari komitmen sangat formal dan khas publik, semua agama yang dikenal
juga mempunyai perangkat tindakan persembahan dan kontemplasi personal yang
relatif spontan, informal, dan khas pribadi.
3. Dimensi pengalaman. Dimensi ini berisikan dan
memperhatikan fakta bahwa semua agama mengandung pengharapan-pengharapan
tertentu, meski tidak tepat jika dikatakan bahwa seseorang yang beragama dengan
baik pada suatu waktu akan mencapai pengetahuan subjektif dan kangsung mengenai
kenyataan terakhir.
4. Dimensi pengetahuan agama. Dimensi ini mengacu
kepada harapan bahwa orang-orang yang beragama paling tidak memiliki sejumlah
minimal pengetahuan mengenai dasar-dasar keyakinan, ritus-ritus, kitab suci,
dan tradisi-tradisi.
5. Dimensi konsekuensi. Dimensi ini mengacu kepada
identifikasi akibat-akibat keyakinan keagamaan, praktek, pengalaman, dan
pengetahuan seseorang dari hari ke hari.
Demikian pula halnya, jelas bahwa beragama di satu
dimensi tidak perlu harus religius dalam dimensi lain. Ritual dan
kegiatan-kegiatan yang menunjukkan ketaatan seperti dalam persekutuan atau
sembahyang tidak dapat difahami kecuali jika kegiatan-kegiatan itu berada dalam
kerangka kepercayaan yangg mengandung dalil bahwa ada sesuatu kekuatan besar
yang harus disembah. Dimensi kepercayaan dapat dianggap penting secara khusus,
tetapi seringkali tidak cukup untuk menggambarkan aspek komitmen kepada agama.
Sebuah skema yang cukup terkenal untuk menggolongkan
para penganut berdasarkan komitmen keagamaan mereka. Inilah pembedaan penting
yang dilakukan oleh Gordon Allport antara dua tipe keberagamaan, tipe
“intrinsik” dan tipe “ekstrinsik” (Allport 1960). Allport (1960, halaman 33)
menguraikan ciri-ciri tipe ekstrinsik keberagamaan itu sebagai berikut:
manfaat, memperhatikan diri sendiri, memberi
keamanan, ketentraman dan keyakinan terhadap keajaiban pada para penganut . . .
. . . . orang yang religius memandang tuhan sebagai sumber keberuntungan . . .
(mereka) sangat tergantung pada tuhan, dan pada dasarnyahampir tak sanggup
berdiri sendiri.
Mengenai
tipe intrinsik, Allport (halaman 33) mengatakan:
Agama semacam ini dapat menentukan eksistensi
seseorang tanpa memperbudaknya dalam konsep-konsep yang terbatas dan
kebutuhan-kebutuhan ego sentrik. Orang dapat menyebut tipe ini sebagai
interiorized, intrinsic, atau outward centered. Dalam hal-hal tertentu, tipe
ini adalah kutub sebaliknya dari tipe utilitarian, inward centered, atau
extrinsic.
0 comments:
Post a Comment