4/30/2013

Rangkuman: Dimensi-dimensi Keberagamaan


Aneka ragam makna yang dihubungkan dengan istilah “beragama” dapat saja berarti aspek-aspek gejala yang sama, walaupun tak sepenuhnya sinonim. Banyak orang berpendapat bahwa seseorang yang menjadi anggota gereja yang aktiftentulah seorang penganut agama yang taat, dan pastilah juga menjalankan keyakinannya dalam kehidupannya sehari-hari. Ketidakjelasan dalam hal apa sesungguhnya “keberagamaan” itu dapat menimbulkan kegagalan serius dalam penelitian dan penulisan tentang komitmen terhadap agama.
Konsepsi-konsepsi tentang keberagamaan tidak sama bagi semua orang, baik pada masyarakat kompleks modern maupun bagi sebagian besar masyarakat primitif yang homogen. Kita bisa menyatakan dengan tepat mengenai komitmen keagamaan itu, perlu kesepakatan bahwa cara kita mendefinisikan keberagamaan itu harus sesuai dengan cara masyarakat mendefinisikan konsep tersebut. Untuk mulai mendefinisikan dan mengoperasionalisasikan komitmen keagamaan, kita perlu maju setapak lagi ke dalam analisa linguistik untuk menentukan berbagai hal yang dapat diartikan oleh istilah tersebut.
Bagi orang-orang yang memiliki ketaatan kepada agama yang besar dan menganggapnya sebagai gejala metafisika semata-mata, di luar jangkauan panca indera dan tidak berkaitan dengan apa yang difikirkan, dikatakan, dan diperbuat, pekerjaan akan sia-sia dan tidak relevan – semata-mata materialistik yang menampilkan sosok keduniawian. Unsur metafisika dalam agama yang menetang pengkajian agama dengan ketelitian ilmiah. Tetapi seperti kita ketahui bahwa agama berada dalam dunia materi dan tidak bisa sepenuhnya, atau bahkan secara primer, dimengerti dalam pengertian metafisika.
Lima dimensi dapat dibedakan dalam hal ini; di dalam setiap dimensi aneka ragam kaidah dan unsur-unsur lainnya dari berbagai agama dunia dapat digolong-golongkan sebagai berikut:
1.      Dimensi keyakinan. Dimensi ini berisikan pengharapan-pengharapan di mana orang yang religius berpegang teguh pada pandangan teologis tertentu, mengakui kebenaran doktrin-doktrin tersebut.
2.      Dimensi praktek agama. Dimensi ini mencakup perilaku pemujaan, ketaatan, dan hal-hal yang dilakukan orang untuk menunjukkan komitmen terhadap agama yang dianutnya. Praktek-praktek keagamaan ini terdiri dari dua kelas penting:
·         Ritual mengacu kepada seperangkat ritus, tindakan keagamaan formal dan praktek-praktek suci yang semua agama mengharapkan para penganutnya melaksanakan.
·         Ketaatan dan ritual bagaikan ikan dengan air, meski ada perbedaan penting. Apabila aspek ritual dari komitmen sangat formal dan khas publik, semua agama yang dikenal juga mempunyai perangkat tindakan persembahan dan kontemplasi personal yang relatif spontan, informal, dan khas pribadi.
3.      Dimensi pengalaman. Dimensi ini berisikan dan memperhatikan fakta bahwa semua agama mengandung pengharapan-pengharapan tertentu, meski tidak tepat jika dikatakan bahwa seseorang yang beragama dengan baik pada suatu waktu akan mencapai pengetahuan subjektif dan kangsung mengenai kenyataan terakhir.
4.      Dimensi pengetahuan agama. Dimensi ini mengacu kepada harapan bahwa orang-orang yang beragama paling tidak memiliki sejumlah minimal pengetahuan mengenai dasar-dasar keyakinan, ritus-ritus, kitab suci, dan tradisi-tradisi.
5.      Dimensi konsekuensi. Dimensi ini mengacu kepada identifikasi akibat-akibat keyakinan keagamaan, praktek, pengalaman, dan pengetahuan seseorang dari hari ke hari.
Demikian pula halnya, jelas bahwa beragama di satu dimensi tidak perlu harus religius dalam dimensi lain. Ritual dan kegiatan-kegiatan yang menunjukkan ketaatan seperti dalam persekutuan atau sembahyang tidak dapat difahami kecuali jika kegiatan-kegiatan itu berada dalam kerangka kepercayaan yangg mengandung dalil bahwa ada sesuatu kekuatan besar yang harus disembah. Dimensi kepercayaan dapat dianggap penting secara khusus, tetapi seringkali tidak cukup untuk menggambarkan aspek komitmen kepada agama.
Sebuah skema yang cukup terkenal untuk menggolongkan para penganut berdasarkan komitmen keagamaan mereka. Inilah pembedaan penting yang dilakukan oleh Gordon Allport antara dua tipe keberagamaan, tipe “intrinsik” dan tipe “ekstrinsik” (Allport 1960). Allport (1960, halaman 33) menguraikan ciri-ciri tipe ekstrinsik keberagamaan itu sebagai berikut:
manfaat, memperhatikan diri sendiri, memberi keamanan, ketentraman dan keyakinan terhadap keajaiban pada para penganut . . . . . . . orang yang religius memandang tuhan sebagai sumber keberuntungan . . . (mereka) sangat tergantung pada tuhan, dan pada dasarnyahampir tak sanggup berdiri sendiri.
Mengenai tipe intrinsik, Allport (halaman 33) mengatakan:
Agama semacam ini dapat menentukan eksistensi seseorang tanpa memperbudaknya dalam konsep-konsep yang terbatas dan kebutuhan-kebutuhan ego sentrik. Orang dapat menyebut tipe ini sebagai interiorized, intrinsic, atau outward centered. Dalam hal-hal tertentu, tipe ini adalah kutub sebaliknya dari tipe utilitarian, inward centered, atau extrinsic.

0 comments:

Post a Comment

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More