4/30/2013

Review Antropologi Agama: Agama Sebagai Sistem Budaya (Clifford Geertz)


A.     Interpretasi Budaya dan Agama
Jika Antropologi interpretatif adalah masalah mencari sistem makna dan nilai yang menjadi tempat tinggal kehidupan manusia, maka dapat dimengerti bahwa di dalam setiap kebudayaan, agama akan menarik perhatian antropologi secara serius. Geertz percaya sekali akan hal ini, dapat dilihat dari buku etnografi hasil karyanya yaitu  The Religion of Java (1960). Buku ini menjelajahi secara rinci keterjalinan yang kompleks antara tradisi keagamaan Muslim, Hindu, dan animistik penduduk asli (nama jawanya abangan). Melalui simbol, ide, ritual, dan adat kebiasaan,  Geertz menemukan adanya pengaruh agama dalam setiap pojok dan celah kehidupan Jawa.
Berikut jawaban Geertz yang mendasar dari pernyataannya Agama adalah sebuah sistem budaya :
Sebuah sistem simbol yang berperan membangun suasana hati dan motivasi yang kuat, pervasif, dan tahan lama di dalam diri manusia dengan cara merumuskan konsepsi tatanan kehidupan yang umum dan membungkus konsepsi-konsepsi ini dengan suatu aura faktualitas semacam itu sehingga susasana hati dan motivasi tampak realistik secara unik.
Yang dimaksud Geertz dengan sistem simbol pada kalimat diatas adalah segala sesuatu yang membawa dan menyampaikan suatu ide kepada orang: suatu objek  seperti roda dua orang Budha, suatu peristiwa seperti penyaliban, dan lain sebagainya. Hal penting tentang ide dan simbol tidak semata-mata merupakan masalah pribadi. Dari simbol-simbol tersebut membangun suasana hati dan motivasi yang kuat, pervasif dan tahan lama. Dengan begitu dapat diringkas bahwa agama membuat orang merasakan sesuatu dan juga ingin melakukan sesuatu. Agama juga dijadikan motivasi memiliki tujuan dan dia dibimbing oleh serangkaian nilai yang abadi yang dianggap baik dan benar
Suasana hati itu muncul karena agama mengisi dirinya dengan sesuatu yang sangat penting. Agama merumuskan "konsep tentang tatanan kehidupan yang umum". Hal ini berlaku ketika orang-orang menghadapi hal-hal yang secara intelektual, benar-benar tidak dapat mereka pahami; ketika secara moral, mereka menemui kejahatan yang tak dapat mereka terima; atau ketika, secara emosi, mereka melihat apa yang terjadi, tetapi hal itu berbenturan dengan apa yang seharusnya. Agama menandai  suatu wilayah kehidupan yang memiliki status khusus. Yang memisahkan agama dari sistem budaya yang lain adalah bahwa simbolnya mengklaim menempatkan kita bersentuhan dengan apa yang "betul-betul riil" dengan hal-hal yang berarti bagi orang lebih dari yang lain.
Dengan demikian jelas Geertz di dalam kesimpulannya, setiap studi yang berguna tentang agama akan selalu menuntut dua tahap operasi. Orang, pertma-tama harus menganalisis serangkaian makna yang terdapat di dalam simbol-simbol agama itu sendiri, suatu tugas yang di dalamnya sangat sulit. Kemudian datang tahap ke dua yang bahkan lebih sulit namun sama-sama penting: karena simbol sangat berhubungan dengan struktur masyarakat dan psikologi individu para anggotanya, hubungan-hubungan itu harus ditemukan di sepanjang sirkuit sinyal yang terus-menerus diberi, diterima, dan dikembalikan.

B.     Menafsirkan Agama: Suatu Contoh Dari Bali
Jika ini adalah apa yang tampak dari pendekatan Geertz terhadap agama seperti pada segi teoretisnya, apa bentuk yang diambil jika benar diterapkan pada kasus-kasus individual? Dalam sebuah studi perbandingan yang menarik, Weber membuat perbedaan antara dua tipe agama yang dapat ditemukan dalam sejarah dunia: "yang tradisional" dan "yang dirasionalkan". Agama-agama tradisional, yang juga ia sebut dengan "magis" lebih merupakan karakteristik orang-orang primitif, yang kehidupannya berada dalam politeisme. Mereka melihat ketuhanan baru dalam setiap pohon atau batu dan mereka mengadakan ritual baru pada hampir setiap perubahan kehidupan mereka. Mereka begitu terbenam bahkan hampir tidak sadar bahwa mereka "memiliki" sebuah agama; itu adalah apa yang benar-benar selalu mereka lakukan.
Pada sisi lain, agama-agama yang dirasionalkan adalah agama-agama besar di dunia seperti Yudaisme, Konfusianisme, dan Hinduisme. Bukannya memiliki banyak roh, agama-agama ini cenderung melihat ketuhanan dalam bentuk satu, dua atau sekedar prinsip spiritual yang besar. Agama-agama yang dirasionalisasikan pada umumnya bersifat abstrak dan logis. Agama-agama yang dirasionalkan dan agama tradisional juga berbeda dalam cara mereka menghadapi problem besar kehidupan. Agama tradisional selalu menyelesaikan melalui cara-cara khusus yang sangat partikular, sedangkan agama yang dirasionalkan selalu mengemukakan persoalan semacam itu dalam skala kosmos. Agama-agama yang dirasionalisasikan ini tampaknya muncul pada saat pergolakan sosial yang besar pada saat ketika agama-agama tradisional di desa dan di ladang tidak lagi memenuhi kebutuhan para penganutnya. Dengan mengakui nilai kerangka yang konseptual ini, Geertz menerapkannya ke keadaan Bali pada zaman modern. Meskipun namanya Hindu, namun agama Bali bukanlah mistisime para intelektual India tetapi politeisme dan mitologi setiap hari penduduk desanya. Di dalam agama Hindu Bali hampir tidak ada teologi yang dirasionalisasi, sebaliknya, ritual dan suatu perasaaan Ketuhanan yang dekat dapat ditemukan dimana-mana.

C.     ISLAM OBSERVED
Contoh kita yang ke dua dari aksi pendekatan interpretif Geertz membawa kita pada subjek yang lebih besar, perbandingan Geertz terhadap dua jenis Islam, yaitu pada negara Indonesia dan Maroko. Geertz mengatakan bahwa di samping berkebudayaan muslim, kedua kebudayaan ini pada masa modern telah melewati  perubahan sosial yang besar. Pada saat yang bersamaan, tempat yang pertama memiliki masyarakat tradisional yang terdiri atas petani beras dan tempat yang kedua terdiri atas para penggembala, keduanya telah menjadi koloni Negara-negara Barat (Belanda dan Perancis) dan baru-baru ini memperoleh kemerdekaan (Indonesia pada tahun 1945 dan Maroko pada tahun 1956).

D.     CORAK-CORAK ISLAM KLASIK
Maroko memiliki bentuk sebagai suatu bangsa muslim selama empat abad yang penting, yang dari tahun 1050-1450, ketika masyarakat didominasi oleh orang-orang suku gurunpasir yang agresif dan para saudagar kota yang berkemauan keras. Dua tokoh utama dalam kebudayaan ini adalah prajurit atau pemimpin, dan mistikus, manusia suci muslim, yang terkadang menyatu dalam bentuk ideal wali-prajurit. Sedangkan di Indonesia, Islam datang belakangan, dan mengambil bentuk yang agak berbeda. Sebagai negeri berkebudayaan petani yang lama makmur, yang ladang berasnya sama-sama membantu kehidupan petani, pangeran, dan pedagang, Indonesia hanya perlu sedikit keberanian, yang merupakan kunci kelangsungan hidup di Maroko. Kebaikan yang paling dihargai di atas yang lain adalah kerajinan di ladang, sifat kepribadian yang didukung selama berabad-abad oleh ideal-ideal agama Hindu-Budha, yang menekankan meditasi, kebatinan (indwadness), dan ketenangan pribadi. Dengan demikian, Islam Indonesia mengembangkan cirri-ciri yang fleksibel, yakni bersifat ‘adaptif, menyerap, pragmatis, dan gradualistik”, sangat berbeda dari kekakuan yang tak kenal kompromi dan fundamentalisme yang agresif di Maroko.
Sikap agama yang karakteristik ini, keras di satu tempat, rileks ditempat lain disebut corak-corak klasik Islam di setiap bangsa. Keduanya bersifat mistik, karena mengemukakan kebenaran agama melalui kontak yang langsung dengan Tuhan, tetapi ada perbedaan yang signifikan, yang dijelaskan oleh Geertz melalui tentang dua pemimpin agama yang legendaries,yaitu Sunan Kalijaga di Indonesia dan Sidi Lahsen Lyusi di Maroko. Jadi, di Indonesia dan Maroko, corak-corak Islam klasik adalah mistik,corak-corak itu mencoba untuk membawa umat kehadirat tuhan secara langsung. Namun kisah-kisah tentang para wali muslim menunjukkan betapa beda bentuk mistik dalam Islam. Mistisisme “illuminasionis” dari Kalijaga sangat berlawanan dengan kesalehan “murobitun” yang agresif dari Lyusi.

E.     REVOLUSI KAUM SKRIPTURALIS
Dalam kasus Indonesia, revolusi skripturalis ini dimulai pada tahun 1800an, saat penting dari kekuasaan Belanda dan ketika sentimen nasional sangat kuat menentang kekuasaan colonial. Dengan medapat inspirasi dari kesempatan berhaji di Mekah, orang-orang Indonesia mulai menemukan Islam yang berbeda, yag lebih keras dan militan di Arabia, yang kemudian segera diajarkan di dalam sekolah-sekolah yang baru didirikan. Menarik kata Geertz, di saat hampir yang bersamaan, skripturalisme juga muncul di Maroko. Dkenal sebagai Salafi, atau para leluhur yang saleh dan dipimpin oleh para nasionalis yang keras dan penuh nafsu, seperti Allal Al-Fassi, gerakan yang baru ini pada tahun 1990 mulai membuka konflik dengan corak Islam murobit yang lama atau dengan wali. Sebgaimana di Indonesia, kaum skripturalis baru ini menentang Perancis dan corak muslim klasik yang lebih tua. Jadi, Islam skripturalis di Indonesia dan Maroko member latar belakang pada perjuagan untuk kemerdekaan bangsa yang terjadi di kedua negeri itu selama tahun-tahun pertengahan abad ke-20. Perjuangan ini dapat diikuti dalam karir dua pemimpin nasional pada saat itu, Sultan Muhammad V di Maroko dan Presiden Sukarno di Indonesia. Dalam analisis terakhir, Sukarno dan Muhammad V sangat mengetahui kekuatan agama dalam masyarakat mereka, keduanya berusaha mempergunakannya secara konstruktif untuk tujuan nasional. Penting, keduanya memutuskan bahwa dibandingkan corak skripturalis,Islam corak klasik menawarkan harapan kesuksesan yang lebih besar.
F.      KESIMPULAN: PANDANGAN DUNIA DAN ETOS
Agama terdiri atas pandangan dunia dan suatu etos yang bergabung untuk memperkuat satu sam lain. Serangkaian kepercayaan yang dimiliki tentang apa yang riil, dewa apa yang ada, dan lain-lain, yang membimbing mereka ketika mereka hidup dan dengan demikian menegaskan kepercayaan.
Di maroko, kepercayaan Islam member dukungan pada etos murobitisme, yang memproyeksikan gaya hidup dengan memuji semangat moral, dan etos ini pada gilirannya menguatkan kepercayaan muslim. Di Indonesia, keseimbangan yang sama tampak telah tetap,pandangan dari dunia dari campuran Islam dan Hindu mendukung mistisisme yang lembut dan meditative dalam tokoh-tokoh seperti Kalijaga, sedangkan ideal tingkah laku dan emosi yang ia berikan mendukung pandangan dunia. Mengenai pandangan dunia, akar persoalannya adalah perbenturan ide-ide. Di kedua negeri itu, sikap-sikap secular masuk bersamaan dengan menyebarnya sains dalam industry, universitas, dan klas-klas professional, pada titik ekstrem sebaliknya, “ideologisasi” agama yang telah ditentukan oleh tangan-tangan kaum skripturalis, yang mengisolasi Al-Qur’an dari semua pengetahuan lain. Orang-orang muslim Maroko memandang perjumpaan dengan Tuhan sebagai suatu pengalaman yang sangat intens, namun bagi mereka, sebagian besar kehidupan biasa di pasar, tempat rekreasi atau politik, tampak benar-benar tidak religious. Sebaliknya di Indonesia, sedikit pengalaman keagamaan dianggap intens, penuh kekuatan, seperti yang dihargai di Maroko, tetapi tingkatan religiusnya jauh lebih luas. Meskipun ada perbedaan, kedua negeri itu sedang berlangsung erosi etos yang signifikan, melalui cara-cara kecil dan tersembunyi.

0 comments:

Post a Comment

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More