A.
Interpretasi
Budaya dan Agama
Jika
Antropologi interpretatif adalah masalah mencari sistem makna dan nilai yang
menjadi tempat tinggal kehidupan manusia, maka dapat dimengerti bahwa di dalam
setiap kebudayaan, agama akan menarik perhatian antropologi secara serius.
Geertz percaya sekali akan hal ini, dapat dilihat dari buku etnografi hasil
karyanya yaitu The Religion of Java (1960). Buku ini menjelajahi secara rinci
keterjalinan yang kompleks antara tradisi keagamaan Muslim, Hindu, dan
animistik penduduk asli (nama jawanya abangan).
Melalui simbol, ide, ritual, dan adat kebiasaan, Geertz menemukan adanya pengaruh agama dalam
setiap pojok dan celah kehidupan Jawa.
Berikut jawaban Geertz yang mendasar dari pernyataannya Agama adalah sebuah
sistem budaya :
Sebuah sistem simbol
yang berperan membangun suasana hati dan motivasi yang kuat, pervasif, dan
tahan lama di dalam diri manusia dengan cara merumuskan konsepsi tatanan
kehidupan yang umum dan membungkus konsepsi-konsepsi ini dengan suatu aura
faktualitas semacam itu sehingga susasana hati dan motivasi tampak realistik
secara unik.
Yang dimaksud Geertz dengan sistem
simbol pada kalimat diatas adalah segala
sesuatu yang membawa dan menyampaikan suatu ide kepada orang: suatu objek seperti roda
dua orang Budha, suatu peristiwa seperti penyaliban, dan lain sebagainya.
Hal penting tentang ide dan simbol tidak semata-mata merupakan masalah pribadi. Dari simbol-simbol tersebut membangun suasana hati dan
motivasi yang kuat, pervasif dan tahan lama. Dengan begitu dapat diringkas
bahwa agama membuat orang merasakan sesuatu dan juga ingin melakukan sesuatu. Agama
juga dijadikan motivasi memiliki tujuan dan dia dibimbing oleh serangkaian
nilai yang abadi yang dianggap baik dan benar
Suasana hati itu muncul karena agama mengisi dirinya
dengan sesuatu yang sangat penting. Agama merumuskan
"konsep tentang tatanan kehidupan yang umum". Hal ini berlaku ketika
orang-orang menghadapi hal-hal yang secara intelektual, benar-benar tidak dapat
mereka pahami; ketika secara moral, mereka menemui kejahatan yang tak dapat
mereka terima; atau ketika, secara emosi, mereka melihat apa yang terjadi,
tetapi hal itu berbenturan dengan apa yang seharusnya. Agama menandai suatu wilayah kehidupan yang memiliki status
khusus. Yang memisahkan agama dari sistem budaya yang lain adalah bahwa
simbolnya mengklaim menempatkan kita bersentuhan dengan apa yang
"betul-betul riil" dengan hal-hal yang berarti bagi orang lebih dari
yang lain.
Dengan
demikian jelas Geertz di dalam kesimpulannya, setiap studi yang berguna tentang
agama akan selalu menuntut dua tahap operasi. Orang, pertma-tama harus
menganalisis serangkaian makna yang terdapat di dalam simbol-simbol agama itu
sendiri, suatu tugas yang di dalamnya sangat sulit. Kemudian datang tahap ke
dua yang bahkan lebih sulit namun sama-sama penting: karena simbol sangat
berhubungan dengan struktur masyarakat dan psikologi individu para anggotanya,
hubungan-hubungan itu harus ditemukan di sepanjang sirkuit sinyal yang
terus-menerus diberi, diterima, dan dikembalikan.
B.
Menafsirkan
Agama: Suatu Contoh Dari Bali
Jika ini adalah apa yang tampak dari pendekatan Geertz
terhadap agama seperti pada segi teoretisnya, apa bentuk yang diambil jika benar
diterapkan pada kasus-kasus individual? Dalam
sebuah studi perbandingan yang menarik, Weber membuat perbedaan antara dua tipe
agama yang dapat ditemukan dalam sejarah dunia: "yang tradisional"
dan "yang dirasionalkan". Agama-agama tradisional, yang juga ia sebut
dengan "magis" lebih merupakan karakteristik orang-orang primitif,
yang kehidupannya berada dalam politeisme. Mereka melihat ketuhanan baru dalam
setiap pohon atau batu dan mereka mengadakan ritual baru pada hampir setiap
perubahan kehidupan mereka. Mereka begitu terbenam bahkan hampir tidak sadar
bahwa mereka "memiliki" sebuah agama; itu adalah apa yang benar-benar
selalu mereka lakukan.
Pada
sisi lain, agama-agama yang dirasionalkan adalah agama-agama besar di dunia
seperti Yudaisme, Konfusianisme, dan Hinduisme. Bukannya memiliki banyak roh,
agama-agama ini cenderung melihat ketuhanan dalam bentuk satu, dua atau sekedar
prinsip spiritual yang besar. Agama-agama yang dirasionalisasikan pada umumnya
bersifat abstrak dan logis. Agama-agama
yang dirasionalkan dan agama tradisional juga berbeda dalam cara mereka
menghadapi problem besar kehidupan. Agama tradisional selalu menyelesaikan
melalui cara-cara khusus yang sangat partikular, sedangkan agama yang
dirasionalkan selalu mengemukakan persoalan semacam itu dalam skala kosmos.
Agama-agama yang dirasionalisasikan ini tampaknya muncul pada saat pergolakan
sosial yang besar pada saat ketika agama-agama tradisional di desa dan di
ladang tidak lagi memenuhi kebutuhan para penganutnya. Dengan mengakui nilai
kerangka yang konseptual ini, Geertz menerapkannya ke keadaan Bali pada zaman
modern. Meskipun namanya Hindu, namun agama Bali bukanlah mistisime para
intelektual India tetapi politeisme dan mitologi setiap hari penduduk desanya.
Di dalam agama Hindu Bali hampir tidak ada teologi yang dirasionalisasi,
sebaliknya, ritual dan suatu perasaaan Ketuhanan yang dekat dapat ditemukan
dimana-mana.
C.
ISLAM
OBSERVED
Contoh
kita yang ke dua dari aksi pendekatan interpretif Geertz membawa kita pada
subjek yang lebih besar, perbandingan Geertz terhadap dua jenis Islam, yaitu
pada negara Indonesia dan Maroko. Geertz mengatakan bahwa di samping
berkebudayaan muslim, kedua kebudayaan ini pada masa modern telah melewati perubahan sosial yang besar. Pada saat yang
bersamaan, tempat yang pertama memiliki masyarakat tradisional yang terdiri atas petani beras dan
tempat yang kedua terdiri atas para penggembala, keduanya telah menjadi koloni Negara-negara Barat (Belanda dan Perancis) dan baru-baru ini memperoleh
kemerdekaan (Indonesia pada tahun 1945 dan Maroko pada tahun 1956).
D.
CORAK-CORAK
ISLAM KLASIK
Maroko
memiliki bentuk sebagai suatu bangsa muslim selama empat abad yang penting,
yang dari tahun 1050-1450, ketika masyarakat didominasi oleh orang-orang suku
gurunpasir yang agresif dan para saudagar kota yang berkemauan keras. Dua tokoh
utama dalam kebudayaan ini adalah prajurit atau pemimpin, dan mistikus, manusia
suci muslim, yang terkadang menyatu dalam bentuk ideal wali-prajurit. Sedangkan
di Indonesia, Islam datang belakangan, dan mengambil bentuk yang agak berbeda.
Sebagai negeri berkebudayaan petani yang lama makmur, yang ladang berasnya
sama-sama membantu kehidupan petani, pangeran, dan pedagang, Indonesia hanya
perlu sedikit keberanian, yang merupakan kunci kelangsungan hidup di Maroko.
Kebaikan yang paling dihargai di atas yang lain adalah kerajinan di ladang,
sifat kepribadian yang didukung selama berabad-abad oleh ideal-ideal agama
Hindu-Budha, yang menekankan meditasi, kebatinan (indwadness), dan ketenangan pribadi. Dengan demikian, Islam
Indonesia mengembangkan cirri-ciri yang fleksibel, yakni bersifat ‘adaptif,
menyerap, pragmatis, dan gradualistik”, sangat berbeda dari kekakuan yang tak
kenal kompromi dan fundamentalisme yang agresif di Maroko.
Sikap agama yang karakteristik ini,
keras di satu tempat, rileks ditempat lain disebut corak-corak klasik Islam di
setiap bangsa. Keduanya bersifat mistik, karena mengemukakan kebenaran agama
melalui kontak yang langsung dengan Tuhan, tetapi ada perbedaan yang
signifikan, yang dijelaskan oleh Geertz melalui tentang dua pemimpin agama yang
legendaries,yaitu Sunan Kalijaga di Indonesia dan Sidi Lahsen Lyusi di Maroko.
Jadi, di Indonesia dan Maroko, corak-corak Islam klasik adalah
mistik,corak-corak itu mencoba untuk membawa umat kehadirat tuhan secara
langsung. Namun kisah-kisah tentang para wali muslim menunjukkan betapa beda
bentuk mistik dalam Islam. Mistisisme “illuminasionis” dari Kalijaga sangat
berlawanan dengan kesalehan “murobitun” yang agresif dari Lyusi.
E.
REVOLUSI
KAUM SKRIPTURALIS
Dalam
kasus Indonesia, revolusi skripturalis ini dimulai pada tahun 1800an, saat
penting dari kekuasaan Belanda dan ketika sentimen nasional sangat kuat
menentang kekuasaan colonial. Dengan medapat inspirasi dari kesempatan berhaji
di Mekah, orang-orang Indonesia mulai menemukan Islam yang berbeda, yag lebih
keras dan militan di Arabia, yang kemudian segera diajarkan di dalam
sekolah-sekolah yang baru didirikan. Menarik kata Geertz, di saat hampir yang
bersamaan, skripturalisme juga muncul di Maroko. Dkenal sebagai Salafi, atau
para leluhur yang saleh dan dipimpin oleh para nasionalis yang keras dan penuh
nafsu, seperti Allal Al-Fassi, gerakan yang baru ini pada tahun 1990 mulai
membuka konflik dengan corak Islam murobit yang lama atau dengan wali.
Sebgaimana di Indonesia, kaum skripturalis baru ini menentang Perancis dan
corak muslim klasik yang lebih tua. Jadi, Islam skripturalis di Indonesia dan
Maroko member latar belakang pada perjuagan untuk kemerdekaan bangsa yang
terjadi di kedua negeri itu selama tahun-tahun pertengahan abad ke-20.
Perjuangan ini dapat diikuti dalam karir dua pemimpin nasional pada saat itu,
Sultan Muhammad V di Maroko dan Presiden Sukarno di Indonesia. Dalam analisis
terakhir, Sukarno dan Muhammad V sangat mengetahui kekuatan agama dalam
masyarakat mereka, keduanya berusaha mempergunakannya secara konstruktif untuk
tujuan nasional. Penting, keduanya memutuskan bahwa dibandingkan corak
skripturalis,Islam corak klasik menawarkan harapan kesuksesan yang lebih besar.
F.
KESIMPULAN:
PANDANGAN DUNIA DAN ETOS
Agama
terdiri atas pandangan dunia dan suatu etos yang bergabung untuk memperkuat
satu sam lain. Serangkaian kepercayaan yang dimiliki tentang apa yang riil,
dewa apa yang ada, dan lain-lain, yang membimbing mereka ketika mereka hidup
dan dengan demikian menegaskan kepercayaan.
Di
maroko, kepercayaan Islam member dukungan pada etos murobitisme, yang
memproyeksikan gaya hidup dengan memuji semangat moral, dan etos ini pada
gilirannya menguatkan kepercayaan muslim. Di Indonesia, keseimbangan yang sama
tampak telah tetap,pandangan dari dunia dari campuran Islam dan Hindu mendukung
mistisisme yang lembut dan meditative dalam tokoh-tokoh seperti Kalijaga,
sedangkan ideal tingkah laku dan emosi yang ia berikan mendukung pandangan
dunia. Mengenai pandangan dunia, akar persoalannya adalah perbenturan ide-ide. Di
kedua negeri itu, sikap-sikap secular masuk bersamaan dengan menyebarnya sains
dalam industry, universitas, dan klas-klas professional, pada titik ekstrem
sebaliknya, “ideologisasi” agama yang telah ditentukan oleh tangan-tangan kaum
skripturalis, yang mengisolasi Al-Qur’an dari semua pengetahuan lain.
Orang-orang muslim Maroko memandang perjumpaan dengan Tuhan sebagai suatu
pengalaman yang sangat intens, namun bagi mereka, sebagian besar kehidupan
biasa di pasar, tempat rekreasi atau politik, tampak benar-benar tidak
religious. Sebaliknya di Indonesia, sedikit pengalaman keagamaan dianggap
intens, penuh kekuatan, seperti yang dihargai di Maroko, tetapi tingkatan
religiusnya jauh lebih luas. Meskipun ada
perbedaan, kedua negeri itu sedang berlangsung erosi etos yang signifikan,
melalui cara-cara kecil dan tersembunyi.
0 comments:
Post a Comment