4/30/2013

Sejarah perkembangan Antropologi Terapan


Sejak awal mula perkembangan antropologi di Inggris, Perancis dan Amerika, beberapa antropolog mulai menaruh minat untuk menggunakan pengetahuan mereka demi tujuan-tujuan praktis. Cabang ilmu pengetahuan ini kemudian dikenal sebagai “antropologi terapan.” Di masa kolonial, pemerintah yang paling aktif melakukan intervensi kolonialis ke berbagai negara dunia ketiga adalah Inggris. Melalui praktik kolonialisme di Afrika dan Asia, inggris memperkenalkan struktur pemerintahan dan struktur sosialnya sendiri ke dalam masyarakat-masyarakat di wilayah Afrika. Intervensi kolonial ini demikian meluas dan mendalam, sehingga bukan hanya struktur lokal dari masyarakat atau kelompok-kelompok masyarakat di negara jajahan yang berubah, akan tetapi kebudayaan masyarakat-masyarakat daerah jajahan itu pun ikut berubah. Banyak antropolog yang berminat untuk memperoleh kesempatan melakukan penelitian lapangan di daerah-daerah jajahan yang sedang berubah ini. Akan tetapi peran antropolog pada masa itu masih dalam rangka membantu pemerintahan kolonial. Bahkan pada tahun 1881, antropolog Inggris, Lane Fox Pitt-Rivers telah menggunakan istilah “antropologi terapan”  untuk menggambarkan kajian antropologi yang terkait dengan usaha untuk memahami struktur sosial dan kebudayaan masyarakat setempat, yang sterusnya dimaksudkan untuk tujuan-tujuan pembangunan atau perubahan masyarakat bersangkutan.  Tahun 1941, Sir Richard Temple telah menyebutkan tentang ilmu antropologi yang bersifat praktis (Gardner dan Lewis, 2005 : 48). Di AS, Antropologi terapan sangat dipengaruhi oleh pemikiran Fank Boas dan para pengikutnya yang meyakini bahwa setiap masyarakat memiliki dan mengembangkan kebudayaan yang unik dan khas bagi mereka. Pada tahun 1941, Ikatan Antropologi Terapan mempublikasikan jurnal 3 bulanan, yang berisi antara lain hasil-hasil penelitian dan penerapan ilmu antropologi di dalam bidang industri, kesehatan, serta karya-karya sosial lainnya. Sampai pada tahun 1940an, titik pandang antropologi dalam praktik-praktik pembangunan masih menekankan pada aspek statis, yaitu menjaga jarak untuk merekomendasikan intervensi langsung, dan karena itu kurang memberi perhatian kepada perubahan-perubahan yang terjadi pada masyarakat setempat. Pada perkembangan berikutnya, ketika AS pada tahun 1941 mulai terlibat dalam perang dunia II, keterlibatan antropolog lebih intensif. Sebabnya adalah, selama perang, pemerintah AS secara ekstensif mendayagunakan para antropolog profesional. Menurut catatan Margaret Mead (ibid.52), 90 prosen dari antropolog itu dilibatkan dalam urusan-urusan perang. Sebagian besar dari mereka bekerja di wilayah-wilayah taklukan AS, diantaranya di kepulauan Pasifik, untuk memperlancar kerja sama pemerintah (militer) AS dengan penduduk setempat dalam kegiatan-kegiatan konstruksi. Para antropolog juga terlibat di dalam pelatihan-pelatihan pembekalan yang diberikan kepada para petugas administrasi pemerintah, sebelum mereka menjabat di daerah-daerah taklukkan.

0 comments:

Post a Comment

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More