Sejak awal mula perkembangan antropologi di Inggris,
Perancis dan Amerika, beberapa antropolog mulai menaruh minat untuk menggunakan
pengetahuan mereka demi tujuan-tujuan praktis. Cabang ilmu pengetahuan ini
kemudian dikenal sebagai “antropologi terapan.” Di masa kolonial, pemerintah yang paling aktif melakukan
intervensi kolonialis ke berbagai negara dunia ketiga adalah Inggris. Melalui
praktik kolonialisme di Afrika dan Asia, inggris memperkenalkan struktur
pemerintahan dan struktur sosialnya sendiri ke dalam masyarakat-masyarakat di
wilayah Afrika. Intervensi kolonial ini demikian meluas dan mendalam, sehingga
bukan hanya struktur lokal dari masyarakat atau kelompok-kelompok masyarakat di
negara jajahan yang berubah, akan tetapi kebudayaan masyarakat-masyarakat
daerah jajahan itu pun ikut berubah. Banyak antropolog
yang berminat untuk memperoleh kesempatan melakukan penelitian lapangan di
daerah-daerah jajahan yang sedang berubah ini. Akan tetapi peran antropolog
pada masa itu masih dalam rangka membantu pemerintahan kolonial. Bahkan pada
tahun 1881, antropolog Inggris, Lane Fox Pitt-Rivers telah menggunakan istilah
“antropologi terapan” untuk
menggambarkan kajian antropologi yang terkait dengan usaha untuk memahami
struktur sosial dan kebudayaan masyarakat setempat, yang sterusnya dimaksudkan
untuk tujuan-tujuan pembangunan atau perubahan masyarakat bersangkutan. Tahun 1941, Sir Richard Temple telah
menyebutkan tentang ilmu antropologi yang bersifat praktis (Gardner dan Lewis,
2005 : 48). Di AS, Antropologi terapan sangat dipengaruhi oleh pemikiran
Fank Boas dan para pengikutnya yang meyakini bahwa setiap masyarakat memiliki
dan mengembangkan kebudayaan yang unik dan khas bagi mereka. Pada tahun 1941, Ikatan Antropologi Terapan
mempublikasikan jurnal 3 bulanan, yang berisi antara lain hasil-hasil
penelitian dan penerapan ilmu antropologi di dalam bidang industri, kesehatan,
serta karya-karya sosial lainnya. Sampai pada tahun 1940an, titik pandang
antropologi dalam praktik-praktik pembangunan masih menekankan pada aspek
statis, yaitu menjaga jarak untuk merekomendasikan intervensi langsung, dan
karena itu kurang memberi perhatian kepada perubahan-perubahan yang terjadi
pada masyarakat setempat. Pada perkembangan berikutnya, ketika AS pada tahun
1941 mulai terlibat dalam perang dunia II, keterlibatan antropolog lebih intensif.
Sebabnya adalah, selama perang, pemerintah AS secara ekstensif mendayagunakan
para antropolog profesional. Menurut catatan Margaret Mead (ibid.52), 90 prosen
dari antropolog itu dilibatkan dalam urusan-urusan perang. Sebagian besar dari
mereka bekerja di wilayah-wilayah taklukan AS, diantaranya di kepulauan
Pasifik, untuk memperlancar kerja sama pemerintah (militer) AS dengan penduduk
setempat dalam kegiatan-kegiatan konstruksi. Para antropolog juga terlibat di
dalam pelatihan-pelatihan pembekalan yang diberikan kepada para petugas
administrasi pemerintah, sebelum mereka menjabat di daerah-daerah taklukkan.
0 comments:
Post a Comment